Cinta Yang Sebenarnya
Boleh
jadi, cinta menjadi sebuah kata paling tua. Meski tidak selalu
diucapkan, paling tidak kata cinta menjadi penyambung dua hati yang
berbeda. Itu pula tampaknya yang terjadi pada Adam dan Hawa. Entah
seperti apa bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan cinta, namun
kitab suci mencatat keduanya terusir dari surga akibat bujukan Iblis.
Ya, saat itu Adam dan Hawa lebih mencintai bujuk rayu Iblis dibanding
mencintai perintah Allah Swt.
Lalu dengan atas nama cinta pula Adam dan Hawa memohon ampun atas
segala khilaf. Setelah sekian lama keduanya terpisah, akhirnya Allah
Swt. berkenan mengampuni dan menyatukan keduanya. Adam dan Hawa kembali
meraih cinta sebenarnya. Mereka menyadari bahwa sejatinya cinta haruslah
disandarkan pada Sang Pemilik Cinta, yakni Allah Azza wa Jalla.
Sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan nafsu, setiap manusia tentu
memiliki rasa cinta. Namun sayangnya, tak setiap manusia dapat
meletakkan rasa cinta pada tempat sebenarnya. Bahkan sebagian besar
manusia tergelincir saat meletakkan dan mengaplikasikan rasa cinta.
Kisah Adam dan Hawa seolah simbol bahwa anak-cucu keduanya, kelak,
sangat berpotensi untuk lebih memilih cinta berdasarkan bujuk rayu
Iblis, dibandingkan cinta sebenarnya dari Allah Swt.
Kita bisa berkaca pada sekeliling kita. Banyak kasus mencerminkan
ketidakmengertian manusia mengaplikasikan cinta. Dan banyak pula yang
sebenarnya mengerti namun tidak mau mengerti. Inilah golongan yang
benar-benar disesatkan Iblis laknat durjana. Mereka melakukan beragam
kemaksiatan dengan atas nama cinta, yang menurut mereka adalah fitrah
setiap manusia.
Betul bahwa cinta adalah fitrah setiap manusia, namun mereka umumnya
memaknai cinta sama dengan pelampiasan nafsu. Mereka aplikasikan cinta
dengan seks bebas (free seks), berselingkuh, hingga perbuatan biadab
lainnya yang tak lebih merupakan siasat Iblis. Mereka sejatinya sama
sekali tak mengagungkan cinta sebagai fitrah setiap manusia.
Dalam Islam, cinta memiliki nilai yang sangat tinggi, sangat
diagungkan. Bahkan manusia diperintahkan untuk sangat berhati-hati
meletakkan cinta dalam kehidupannya. Sebab kalau saja salah, maka
kesengsaraan di dunia dan kesengsaraan di akhirat lah balasannya.
Siapa yang pantas kita cintai?
Jika ukurannya adalah mencintai makhluk Allah, siapakah yang pantas kita cintai? Mari merujuk pada sebuah kisah dalam sebuah hadits:
Jika ukurannya adalah mencintai makhluk Allah, siapakah yang pantas kita cintai? Mari merujuk pada sebuah kisah dalam sebuah hadits:
Anas bin Malik mengatakan: Pada suatu hari, orang Arab pedalaman
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. tentang hari kiamat. “Kapan datang
hari kiamat?” tanyanya. Lalu, beliau balik bertanya, “Apa yang sudah
kamu persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang tersebut menjawab,
Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak
shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan
adalah cinta Allah dan RasulNya. Nabi Saw. bersabda, “(kalau begitu)
Anta ma`a man ahbabta (engkau akan bersama orang yang engkau cintai).” (HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639).
Dalam riwayat lain Anas mengatakan, Kami tidaklah pernah merasa
gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi Saw.:
Anta maa man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai). Anas pun mengatakan, Kalau begitu aku mencintai Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bisa
bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak
bisa beramal seperti amalan mereka, (HR. Bukhari no. 3688).
Menurut Annawawi (pengarang Syarh Shahih Muslim), hadits ini
menerangkan keutamaan cinta kepada Allah dan rasulNya serta juga cinta
kepada para penggiat kebaikan, baik mereka yang masih hidup maupun yang
sudah mati.
Berdasarkan hadits di atas, masih pantaskah jika kita mencintai
makhluk Allah Swt. selain Rasulullah Saw? Kalau pun ada, apakah mereka
pantas kita cintai dan kita banggakan karena amal perbuatannya di
hadapan Allah Swt?
Islam mengajarkan kepada kita untuk memilih sosok yang pantas kita
cintai, kita idolai. Ukurannya, bukanlah ketampanan, keindahan fisik,
popularitas, kekayaan, atau sisi-sisi materalistik lainnya. Ukuran
sebenarnya adalah seberapa besar kedekatan sosok yang kita idolai
tersebut kepada Allah Swt. Seberapa besar sosok yang kita cintai
tersebut benar-benar mencintai Allah Swt. dengan melaksanakan segala
perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.
Dalam Surah Al-Fatihah yang berulang-ulang dibaca saat shalat, kita
senantiasa meminta agar diberikan Jalan Lurus, yakni jalannya
orang-orang yang Allah anugerahi kenikmatan, bukanlah orang-orang yang
Allah murkai dan disesatkan. Kategori orang-orang yang Allah anugerahi
kenikmatan inilah yang semestinya kita cintai dan kita idolai. Lalu,
siapakah mereka? Allah Swt. menjawabnya dalam QS. Annisa ayat 69:
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid
(syuhada), dan orang-orang saleh (shalihin). Dan mereka Itulah teman
yang sebaik-baiknya.
Subhanallah! Allah Swt. sendiri menunjukkan kepada kita,
siapa yang pantas kita cintai, kita idolai, dan kita jadikan teman.
Tentu saja, cara kita mencintai mereka berdasarkan cinta kepada Allah
Azza wa Jalla.
Cara Mencintai Rasulullah Saw.
Kelompok yang dianugerahi Allah Swt., seperti yang disebutkan di atas, adalah orang-orang yang mengikuti perintah Allah Swt. dan rasulNya. Mereka juga kelompok yang sangat mencintai Rasulullah Saw. dalam setiap pikiran dan perilaku sehari-hari.
Kelompok yang dianugerahi Allah Swt., seperti yang disebutkan di atas, adalah orang-orang yang mengikuti perintah Allah Swt. dan rasulNya. Mereka juga kelompok yang sangat mencintai Rasulullah Saw. dalam setiap pikiran dan perilaku sehari-hari.
Sebagai komitmen jiwa, tentu saja cinta menuntut pikiran, perhatian,
dan tindakan sekaligus. Begitu pula jika kita mencintai Rasulullah Saw.
Paling tidak, untuk menunjukkan cinta kita kepada Rasulullah Saw., ada
empat hal yang mesti dilakukan, yakni: Pertama, Al-Ittiba` wal Iqtida. Kita harus senantiasa mengikuti ajaran dan petunjuk (sunnah) beliau serta mewujudkan dan menghidupkannya sepanjang masa.
Kedua, Assam`ah wat Tha`ah. Kita harus senantiasa mendengar
dan patuh kepadanya. Hal ini karena cinta menuntut kepatuhan, seperti
terbaca dengan jelas dalam syair Arrawwaq. “Kau durhaka meski kau
menyatakan cinta. Itu pasti bukan cinta, tapi dusta. Kalaulah cintamu
itu sejati, pastilah kau patuh karena orang yang cinta selalu mengikuti
kemauan orang yang dicinta.”
Ketiga, Al-Ittishal wal Qurb. Kita harus senantiasa berusaha
mendekat dan membangun hubungan yang kuat dengannya. Setiap orang yang
cinta pasti tak ingin lepas dan berpisah dari kekasihnya. Inilah bahasa
dan logika cinta.
Dan keempat adalah Adzdzikr wat Tadzakkur. Kita harus
senantiasa ingat kepadanya dan berusaha menghadirkan dirinya dalam
ingatan dan kesadaran. Dalam adagium Arab, terdapat ungkapan, “Siapa orang yang mencintai sesuatu, ia akan selalu mengingat dan menyebut-nyebutnya selalu.” Maka, sebagai salah satu bukti cinta kepada Rasulullah, kita harus sering-sering bershalawat dan menyampaikan salam kepadanya.
Setelah mengetahui makna cinta sebenarnya, sudah semestinya kita
meletakkan cinta pada tempat yang sebenarnya. Marilah kita senantiasa
berharap dan berdoa agar Allah Azza wa Jalla, Sang Pemilik Cinta,
menganugerahi kita kecintaan padaNya dengan mengikuti sunnah Rasulullah
Saw. dan menjadikan shiddiqiin, syuhada, dan shalihin sebagai teman di
dunia dan di akhirat.
Wallahu Alam bish Shawab.
Komentar
Posting Komentar