NALURI MANUSIA: KEHIDUPAN DAN KEMATIAN

NALURI MANUSIA: KEHIDUPAN DAN KEMATIAN

I. PENGERTIAN UMUM

Naluri adalah semacam dorongan alamiah dari dalam diri manusia untuk memikirkan serta menyatakan suatu tindakan. Setiap makluk hidup memiliki dorongan ini, yang dapat diekspresikan secara spontan sebagai tanggapannya kepada stimulus yang muncul dari dalam diri atau dari luar dirinya. Tanggapan ini bisa diekspresikan secara positip tetapi juga bisa secara negatip, tergantung pada jenis stimulus yang mendatanginya. Dua ekor anjing mencoba menunggu tulang babi yang akan dilemparkan yang empunya kepada mereka. Dan ketika tulang babi tersebut dilemparkan, mereka akan saling berebutan. Naluri seekor anjing akan muncul ketika tulang babi tersebut siap untuk diperebutkan. Anjing yang satu tidak memikirkan bahwa mungkin temannya yang lain lebih lapar, maka ia bisa memperbolehkan temannya itu menyantapnya. Ia hanya ingin bahwa tulang itu untuk dirinya, dan dengan cara apapun ia akan berusaha mendapatkannya tanpa mempertimbangkan secara sosial dan rasional.

II. NALURI: BAGIAN KEPRIBADIAN MANUSIA

Manusia pada tingkatan tertentu memiliki dorongan naluriah yang hari demi hari terus membentuk kepribadiannya. Dorongan dari dalam diri manusia itu menimbulkan keinginan dan keinginan selanjutnya membutuhkan perealisasiannya dalam tindakaan nyata. Banyak ahli psikologi telah berusaha memahami dorongan dari dalam diri manusia untuk mengetahui karate dan psikologi sporangi individu.
Freud misalnya mencoba merumuskan keinginan dasar itu berupa, terutama pada anak-anak, mendapatkan cinta dan perhatian dari lawan jenis. Seorang anak laki-laki akan merebut hati ibunya dan berusaha menyingkirkan kehadiran ayahnya yang telah lama memiliki ibunya. Cara memperebutkan itupun dapat diungkapkan melalui banyak cara: menangis, marah, dan lain-lain.
Abraham Maslow dalam teori tinggat-tingkat kebutuhan manusia juga secara jelas merumuskan dorongan naluriah tersebut didasarkan pada kebutuhan yang terendapkan darlam diri setiap manusia. Jika manusia butuh makan, maka responsnya ialah mencari makanan agar kebutuhan itu dapat terpenuhi. Jika ia butuh rasa aman, maka ia akan mengupayakan dirinya berada dalam posisi aman. Ini berlangsung terus sampai kepada kebutuhan akan aktualisasi diri.

III. NALURI KEHIDUPAN DAN KEMATIAN

Dari beberapa rumusan para ahli psikologi tersebut, kita dapat melihat bahwa sebenarnyadalam diri manusia terdapat dua dorongan mendasar yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pada satu sisi, manusia mempunyai dorongan atau naluri kehidupan dan di sisi lain, ia juga memiliki naluri kematian. Kedua hidup bersama dalam satu pribadi manusia yang utuh. Kita akan mencoba melihat kedua naluri ini secara rinci.

3.1 Naluri Kehidupan
Naluri kehidupan ialah dorongan spontan dari dalam diri manusia untuk hidup. Jika sakit flu, dengan segera manusia akan berusaha untuk mengobatinya agar sehat kembali. Jika sakit sekarat, manusiapun mengharapkan agar ia ditolong untuk dibawakan ke rumah sakit atau berharap bahwa ada orang lain yang siap membantunya untuk sehat kembali. “Aku belum ingin mati”, mungkin itulah kata yang tepat, namun sulit terungkapkan ketika manusia berada pada situasi sekarat. Begitu juga ketika ada seorang yang tertabak sepeda motor di jalanan, dan orang yang ditabrak pingsan, maka dengan segera orang tersebut menolong korban dan dibawa ke rumah sakit agar mendapatkan pertolongan. Ia ingin agar korban itu hidup.
Berdasarkan contoh-contoh tersebut nampak bahwa manusia ingin hidup. Secara tidak sadar ia memiliki dorongan dan naluri untuk hidup, entah itu bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain. Ia tidak ingin dirinya atau bahkan orang lain tidak memiliki hidup, tetapi sebaliknya ia ingin agar dirinya dan orang lain memperoleh hidup. Keinginan dan dorongan ini pada satu sisi dapat dilakukan melalui pertimbangan akal sehat, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sering dorongan tersebut terjadi secaara spontan, muncul dengan sendirinya dari dalam diri. Inilah kespontanan yang menyatakan sebuah naluri kehidupan yang terekspresi begitu saja tanpa dipikirkan terlebih dahulu.

3.2 Naluri Kematian
Naluri kematian ialah dorongan spontan dari dalam diri manusia akan kematian, entah bagi dirinya sendiri maupun pun juga bagi orang lain. Dorongan ini selalu muncul dalam tindakan menyakiti dan menderai tubuh sendiri dan juga orang lain. Kita tahu bahwa cabe itu pedas dan menyakiti lidah dan tubuh kita, tetapi kita senang sekali dan ingin sekali memakannya. Kita tahu bahwa membenci orang lain itu dapat medusa relasi serta keadaan psikologisku, tetapi kita justru sering melakukannya. Kita tahu bahwa merokok itu dapat lebih cepat membuat kita meningea karena nikotinnya, tetapi kita toh senang menikmatinya. Karena itu naluri kematian dapat diartikan sebagai kegiatan yang membuat tubuh fisik diri sendiri menjadi sakit. Dan ini bertentangan dengan naluri kehidupan yang menginginkan tubuh kita selalu dalam keadaan “aman”.

3.3 Dari Naluri Kematian kepada Naluri Kehidupan
Kita telah melihat bahwa naluri kehidupan dan kematian terdapat juga dalam diri binatang dan juga manusia. Di sini muncul pertanyaan: di mana letak perbedaan dan persamaan antara naluri kehidupan dan kematian pada diri manusia dan biantang? Dengan melihat ini akhirnya kita akan dihantar kepada pemahaman bahwa pada satu sisi, manusia memiliki sifat kebinatangan dan pada sisi lain manusia juga sangat khas dengan sifatnya sebagai manusia.
Persamaan antara manusia dan binatang terletak pada naluri atau dorongan dalam merasakan serta keinginan spontan, tanpa refleksi, ketika melakukan sesuatu. Binatang melakukan suatu tindakan didorong oleh desakan spontan dalam diri. Manusia, dalam kebanyakan aktifitasnya, melakukan tindakan atas dasar desakan spontan dari dalam diri. Karena tindakan ini adalah spontan, maka ada kecenderungan besar terarah kepada naluri kematian, karena dalam tindakan ini, pertimbangan matang dari rasio tidak diandalkan.
Karena itu, kita dapat melihat perbedaan antara binatang dan manusia ialah terletak pada penggunaan rasio dalam mengekspresikan tindakannya.
Di sini muncul gagasan bahwa jika manusia melakukan sesuatu tanpa dikendali oleh rasio, yang pada dasarnya mempertimbangkan keberadaan dirinya sebagaimana manusia yang menginginkan hidup, maka manusia tersebut berada pada tingkat keberadaan kebinatangan. Pada dasarnya, manusia selalu menginginkan kehidupan dan bukan kematian, karena peranan rasio yang mengendalikan pengeskpresian tindakannya. Sedangkan manusia yang menginginkan kematian, dapat dikategorikan ke dalam tindakan kebinatangan. Di sini berlaku prinsip “siapa yang kuat, dialah yang menang”. Seleksi alamiahpun berlaku pada pengertian ini.
Jika manusia menginginkan terpeliharanya naluri kehidupannya, maka seharusnya ia mencoba untuk mengelola dorongan-keinginan akan tindakan menyakiti diri dengan membangun diri berasarkan pertimbangan akal dan rasio. Ada kesadaran bahwa, pada tingkat tertentu manusia membutuhkan menyakiti diri untuk pembaharuan diri, tetapi tindakan ini harus dilakukan atas dasar cahaya kehidupan. Artinya tetap berdasarkan pada pemahaman dan pertimbangan akal sehat. Jika kesendrungan manusia kepada menghidupi naluri kematian, menyakiti diri dan membunuh diri misalnya, maka ini adalah sebuah pertanda ada keinginan manusia untuk mematikan dirinya.
Manusia seharusnya berusaha untuk menghidupi naluri kehidupannya dengan lebih intens, dan meewarnai kehidupannya dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menghidupkan dirinya dan juga orang lain serta lingkungan. Adalah tidak etis jika, manusia cenderung atau condong melakukan kegiatan menghancurkan diri sendiri, orang lain dan lingkungan, karena ha lini akan menjadikan manusia seperti sifat-sifat binatang: yang mempertahankan diri secara alamiah, seleksi alam, siapa yang kuat dialah yang akan hidup.

IV. TERORISME DAN NALURI KEMATIAN
 
Dalam sepuluh tahun terakhir, baik pada tingkat nasional, regional atau internaional, aktifitas terorisme semakin menamkkan diri sebagai suatu gerakan yang kian meluas dan berakar di setiap kehidupan. Kecemasan manusiapun semakin terasa tarkala aksi bom bunuh diri dan pemboman lainya terjadi di banyak negara, terlebih khusus di negara kita Republik Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa telah mulai bermunculan orang-orang yang cinta akan kematian, dan bukan cinta akan kehidupan. Tidak dapat dipungkiri bahwa di balik aksi terorisme, terdapat maksud baik untuk saling memberikan peringatan kepada negara atau orang-orang yang telah lama menindas atau berkuasa atas negara atau orang lain. Namun, tentu kita dapat mencari upaya lain untuk merespons hal tersebut secara positip dan dengan akal sehat, dan bukan melalui aksi terorisme. Mengerikan lagi ialah bahwa sasaran teror bukanlah sasaran yang seharusnya menjadi obyek, melainkan masyarakat sipil yang tidak tahu menahu tentang perpolitikan dunia dan bilateral atau nasional.

Bukanlah tindakan ini telah sasaran? Secara psikologis, tindakan ini terkadung suatu usaha pencarian rasa puas jika meihat ada orang lain menderita. Ada orang yang senang jika melihat orang lain ataupun lawannya menderita dan mati. Dan bahkan dia sangat menikmatinya, dan inilah kepuasan psikologis. Kepuasan psikologis yang didapat dari tindakan menyakiti dan tindakan membunuh sudah tergo long ke dalam gangguan psikologis dan malah penyakit psikologis. Orang tersebut sudah sampai kepada “jatuh cinta kepada kematian dirinya sendiri dan orang lain”. Inilah sebuah kematian yang tidak berharga di mata keutamaan, di mata kebenaran, di mata kemanusiaan, dan terlebih di mata keilahian.
 
Naluri ingin akan kematian ini seolah menjadi daya dorong yang kuat dalam diri para teroris karena mereka didorong pula oleh keyakinan “mati suci” setelah membunuh dirinya dan orang lain. Untuk memperoleh “mati suci” secara fisik dengan membunuh diri sendiri dan orang lain adalah suatu tindakan yang didasarkan pada endapan gangguan dan penyakit jiwa, yang kadang sudah sulit terobati. Kaum ateis yang tidak percaya akan adanya eksistensi Allah, malah masih jauh lebih baik dan sopan daripada orang fondamentalis agama yang lahir dari agama tertentu. Kaum ateis hampir tidak terdengar memiliki naluri kematian yang kuat dalam dirinya (ada tetapi dalam tingkat rendah) daripada kamu fondamentalis-radikalisme agama. Ateisme jauh lebih hormat dan sopan kepada kehidupan daripada kamu fondamentalis-radikalisme agama.
 
Telah sekian lama, banyak orang telah mulai menganalisa gerakan-gerakan terorisme ini serta berusaha untuk menghentikannya, namun lambat naamun pasti, mereka terus bekerja secara terorganisir dan sulit dilacak keberadaannya. Kita hanya melihat dan menyaksikan tindakan dan konsekwensi dari tindakan mereka. Melihat gerekan terorisme yang semakin meluas, kita bisa mengatakan bahwa semakin bertumbuh pula orang-orang yang mencintai kematian dirinya dan orang lain. Entah bagaimana proses peremajaannya, bagaimana para pendahulu menanamkan benih naluri kematian ini hidup subur dalam pribadi remaja-remaja yang sedang tumbuh berkembang?
 
Sebagai manusia yang cinta akan kehidupan sebagai anugereah Tuhan, seharusnya sejak dini orang tua telah menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak mereka. Proses pertumbuhan dan perkembangan anak seharusnya terus diawasi dan diikuti dari masa ke masa, agar anak bisa bertumbuh sebagai manusia-manusia yang cinta akan kehidupan. Tanggung jawab kita ialah mendidik anak menjadi manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan dan bukan mendidik anak kepada cinta akna kematian dirinya dan orang lain. Dengan demikian tanggung jawab keluarga adalah yang paling utama. Tidak cukup melihat anak sudah pintar, berintelek dan mempunyai wawasan yang luas. Seharusnya proses pendidikan anak meliputi pendidikan intelektualitas dan pendidikan pembinaan kepribadian secara utuh sebagai manusia yang hidup bersosial dan sebagai manusia yang hidup bertuhan. Jika ini dapat dilakukan, maka kita dapat mengurangi orang-orang yang mencintai kematian dirinya sendiri dan juga orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Sifat, Sikap dan Karakter

Meningkatnya Level of Consciousness atau Tingkat Kesadaran

Makna dan Hakikat "Hidayah-Taufiq"